29 Desember 2008

Pendidikan Gratis, Mau?

Oleh : Ach. Syaiful A'la*

Sekolah mahal (favorit) seperti sekolah berstandar nasional (SBN), sekolah bertaraf internasional (SBI) dan lainnya sampai detik memang menjadi objek atau sasaran bagi para siswa, orang tua atau wali siswa yang anak asuhnya ingin melanjutkan pendidikannya kejenjang yang lebih tinggi. Karena sekolah favorit akan jauh lebih berkualitas dibandingkan sekolah yang tidak favorit (sederhana). Apa yang ada dibenak Anda ketika mendengar kata “sekolah favorit?” Biasanya selalu identik dengan fasilitas yang lengkap, gurunya berpendidikan, sarana-prasarana pembelajaran memadai, misalnya laboratorium, tempat praktikum, lapangan olah raga, komputer, internet dan fasilitas lainnya.

Berbeda dengan sekolah yang tidak favorit (sederhana). Sekolah yang dikelola apa adanya dengan sistem manajemen sederhana biasanya pembelajaran didalamnya cenderung kaku, melokal, media pembelajaran juga tidak memadai, bahkan out put pun biasanya jauh berbeda kualitasnya dibandingkan dengan lulusan sekolah favorit. Walaupun tidak sedikit pula lulusan sekolah yang tidak favorit mampu bersaing dengan dunia pasar sesuai perkembangan zaman. Tapi yang semacam ini bisa dihitung dengan jari.

Pendidikan Gratis
“Kalau ada yang gratis kenapa harus mencari yang mahal” Hemat penulis, semuanya sepakat dengan kata-kata tersebut. Apalagi disaat Negara sedang dilanda berbagai macam krisis. Kemiskinan dimana-mana, angka pengangguran naik, jutaan anak putus sekolah dan lain sebagainya.

Setiap detik tidak sepi kita melihat penawaran di media baik media cetak atau elektronik yang mencekoki kata-kata ”gratis”, mulai iklan penawaran barang sampai dengan penawaran pendidikan (sekolah) gratis. Padahal tidak semua yang gratis itu berkualitas. Adakalanya sebatas pancingan kepada publik agar orang tertarik dan menjadi ketagihan saja. Hal semacam ini merupakan wabah baru yang melanda Negara kita. Akhirnya orang selalu berpikiran yang serba gratis. Tidak mau berusaha. Seperti makan, minum, olah raga, baca koran, baca buku semuanya maunya yang serba gratis. Maka cita-cita luhur pendidikan untuk menciptakan pelajar yang mandiri dan produktif telah gagal.

Melihat kebelakang (flash back), penyelenggaraan pendidikan memang memerlukan biaya. Terkadang tidak ada bedanya antara pendidikan yang bermutu atau tidak bermutu. Bahkan, biaya penyelenggaraan pendidikan yang tidak bermutu justru akan lebih mahal dibandingkan dengan pendidikan yang bermutu, dikarenakan banyaknya kegiatan yang harus diurus (baca : kondisi pendidikan). Oleh sebab itu, sehingga banyak anak-anak yang tidak bisa menikmati pendidikan lantaran biaya pendidikan (sekolah) yang begitu mahal.
Pandangan penulis, pendidikan memang butuh biaya dan (tetap) mahal. Diselenggarakannya pendidikan bebas biaya (gratis) akan berdampak negatif terhadap beberapa kondisi pendidikan Indonesia, antara lain :
Pertama, hilangnya rasa tanggungjawab orang tua siswa terhadap anak didiknya dalam hal pembiayaan pendidikan. Karena semua biaya pendidikan telah ditanggung pihak sekolah. Pendidikan gratis, biasanya juga akan mengurangi rasa kepuasan orang tua dan anak didik setelah lulus. Coba bayangkan, betapa bahagianya orang tua atau wali yang mempunyai tanggungjawab terhadap pembiayaan pendidikan. Sehingga ia perlu mengeluarkan uang untuk membiayai anaknya, kemudian pada saat yang ditunggu-tunggu (pelulusan) si anak benar-benar mampu menyelesaikan pendidikan dengan baik.

Kedua, hilangnya semangat belajar pada siswa (malas). Siswa sudah tidak merasa mempunyai rasa tanggungjawab terhadap pembelajaran. Penyebab utama bisa yang pertama tadi yakni orang tua. Orang tua setiap hari hanya memberikan uang saku habis itu selesai. Karena siswa sudah tidak merasa diperhatikan dan akhirnya kehilangan identitasnya sebagai pelajar yang tidak mau belajar. Padahal yang diharapkan dalam dunia pendidikan adalah belajarnya seorang pelajar. Lebih fatal lagi kalau bisa berlanjut terhadap hilangnya semangat mengajar para guru. Mengajar hanya asal-asalan.

Ketiga, komunikasi orang tua dengan sekolah dan guru mulai luntur. Imam Az-Zarnuji dalam kitabnya Ta'limul Muta'allim menuliskan bahwa orang tua, guru dan anak harus berjalan seimbang. Diibaratkan tiga roda becak, kalau yang satu sudah tidak ada anginya (kepa’, madura) maka becak tersebut tidak akan berjalan lurus alias pincang.

Pendidikan mahal yang dimaksud penulis adalah bukan berarti menghapus atau tidak mau menerima bantuan dari pemerintah. Walaupun Musthafa al-Ghalaini dalam kitabnya Durratun Nasyi'in juga menegaskan bahwa proses pendidikan yang baik adalah proses pendidikan yang dihasilkan dari sumbangan sumberdaya masyarakat. Bukan minta atau ngemis-ngemis bantuan dari pemerintah. Realitasnya, kalau pendidikan sudah ada keterkaitan dengan pemerintah, maka yang selalu menjadi kambing hitam (dikambing hitamkan) adalah pemerintah ketika terjadi persoalan dalam dunia pendidikan. Misalnya berubahan kebijakan kurikulum, kebijakan anggaran pendidikan sampai kepada ketimpangan-ketimpangan yang terjadi pada pelaksanaan ujian nasional (baca : unas).

Pendidikan gratis memang menjadi impian bersama dan merupakan garapan banyak orang. Bahkan beberapa orang pemerhati pendidikan telah mendirikan lembaga-lembaga pendidikan alternatif seperti yang dirintis oleh Ahmad Bahruddin, Salatiga. Tapi sekolah tersebut bukan berarti harus bebas dari biaya pendidikan, mainkan hanya murah dan berkualitas (baca : pendidikan alternatif).

Bantuan biaya pendidikan dari pemerintah memang sangat diharapkan. Karena sudah menjadi amanah undang-undang dan tanggungjawab pemerintah dalam mencerdaskan bangsa. Tetapi, akan lebih baik kalau untuk meningkatkan kualitas pendidikan pemerintah memperbanyak bantuan berupa beasiswa prestasi. Kalau pendidikan digratiskan secara keseluruhan yang terjadi adalah ketidakadilan. Tidak ada bedanya antara yang kaya dan miskin. Dengan memperbanyak bantuan beasiswa prestasi, siswa bisa berkompetisi memacu prestasinya untuk mendapatkan (bantuan) beasiswa. Melalui jalur seperti ini, ada tiga hal yang didapat dalam dunia pendidikan kita, yakni pendidikan gratis bagi siswa berprestasi akademik kategori tidak mampu, mencetak pelajar yang produktif, dan terwujudnya pendidikan berkualitas serta insane paripurna. Semoga!

*Ketua FOSISKA, Alumnus PP Nasy’atul Muta’allimin (NASA) Gapura Timur Sumenep, Mahasiswa Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya.
HP.+6281703039434. email : achsyaiful@yahoo.com. http//:www.ach-syaiful.blogspot.com

26 Desember 2008

AMROZI dkk, antara jihad dan jahat*
Oleh: Ketut Abid Halimi**

Ribuan umat Islam menangis, lantaran “pahlawan”nya yang pemberani (Amrozi dkk) tewas dibedil regu eksekusi kejaksaan agung, tepat pukul 00.00 dini hari 8 November 2008 lalu. Tapi, di belahan bumi lain ribuan umat Islam tergirang-riang, betapa tidak, Amrozi yang dielu-elukan sebagai “pahlawan” bagi umat Islam oleh kelompok tertentu, bagi-nya hanya seorang teroris yang kejam dan hewani. Anda termasuk orang yang menangisi Amrozi telah mati, atau yang mendefinisikan bahwa Amrozi memang sepantasnya mati? Bertanyalah kembali pada diri anda, walau sebenarnya hanya hati dan Tuhan andalah yang tahu.
Beberapa ikat kesimpulan pun muncul dari masing-masing kelompok akibat Kejaksaan Agung menunda dan terus- menerus menunda eksekusi mati Amrozi dkk. Mulai dari kentalnya intervensi AS, pemerintah takut akan terjadi pengeboman berjamaah di indonesia jika Amrozi benar-benar dieksekusi, hingga pemerintah memang sengaja menunggu momen yang tepat untuk kepentingan politik 2009 sehingga tepat sebagai media image building persiapan pemilu 2009 nanti. Bagi penulis, semua terkait, karena secara historis Indonesia tidak mudah lepas dari intervensi Negara adidaya (AS).

Siapa sebenarnya Amrozi dkk? Mengapa begitu santer dibicarakan, hingga menjadi perdebatan di kancah internasional pula. Benarkah Amrozi cs yang melancarkan pengeboman di pulau bali (12/10/2002)? Bagi saya, fakta yang sebenarnya hingga detik ini belum juga terungkap. Dalam tulisan Imam Samudra di bukunya aku melawan teroris (2004) “Korban bom Bali I itu (orang Indonesia) bukanlah target utama Amrozi dkk, target utama Amrozi dkk adalah Amerika dan sekutunya, pihak asing yang seenaknya menjajah umat Islam” inilah ideologi Amrozi dkk yang tidak masuk akal bagi korban, walau dengan akal sehat tampak menarik dan mestinya kitapun harus mendukung idenya. Dengan cara bagaimana? Ini yang harus didudukkan bersama.
Definisi terorisme adalah faham/gerakan yang membuat kerusakan fisik/psikis dengan melakukan kekerasan secara massal dan berturut-turut. Amrozi dkk dianggap teroris karena divonis sebagai pengebom di pulau seribu pura itu, Amrozi dkk dianggap pahlawan karena mau dan mampu melawan “musuh-musuh Islam”

Terlepas dari pro kontra masyarakat tentang Amrozi teroris atau tidak, wajah Islam bagai dilempar kotoran, Islam yang ramah, rahmat, dan rahim, telah menjadi sangar dan menakutkan. Walau tidak sedikit dari kalangan Islam yang bersikap skeptis terhadap fakta bahwa Amrozi dkk merupakan yang men-skema-kan rangkaian terorisme di Indonesia ini. Fauzan al-Ansary (Direktur Lembaga Kajian Strategis Islam) misalnya, terkesan begitu yakin terhadap kebenaran argumentasi tersebut. Demikikian juga Abu Baker Ba’asyir mengatakan “bukan Amrozi pelakunya”. Setiap muslim harus mengembalikan citra yang tercoreng. Setiap muslim harus mau dan mampu memerangi terorisme yang sejatinya, bagi saya, matinya Amrozi dkk menjadi titik balik perkembangan Islam di kemudian hari. Karena setelah ini terorisme derivatif yang akan muncul menggantikan terorisme yang di fahami masyarakat selama ini. Terorisme derivatif adalah teror secara beruntun dengan menghantam segala sektor untuk memiskinkan bangsa kita. Entah kapan, kita tunggu saja, mungkin anda atau saya yang menjadi korbannya.
Amrozi pen-jahat atau pen-jihad? Saya punya penilaian sendiri yang tidak akan mempengaruhi anda, yang terang Islam tidak pernah mengajarkan jihad seperti yang dilakukan Amrozi. ”Jihad melawan perut dan bawah perutmu” inilah hakekat jihad dalam Islam. Coba kita simak di surat al-Furqon ayat 25 “Saripati ayat tersebut menerangkan bahwa umat Islam diperintahkan berjihad dengan al-Quran untuk melawan kaum musyrik Mekkah dengan cara berargumentasi seperti yang diajarkan Quran (berdialog)” Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Nasa’i pun tidak sepakat dengan jihad definisi Amrozi dkk, karena jihad menurutnya adalah melawan hawa nafsu dan melakukan haji dan umroh yang sebenarnya. Demikian juga Sayyed Hosen Nasr, menegaskan jihad yang sesungguhnya adalah jihad melawan keterpurukan moralitas. Khaled Al-Fadl juga mengatakan, jadikan makna jihad sebagai powerfull symbol bagi ketekunan dan kerja keras. Jika demikian, kalau bukan jihad kemudian apa yang dilakukan Amrozi dkk??????
Silahkan didefinisikan!!!

* Disampaikan dalam diskusi FOSISKA
** Direktur Lembaga Pemberdayaan Ummat (LPU), Ketua LSM FOKRIS