Bulan Februari, kita selalu menyaksikan media massa, mal-mal, pusat-pusat hiburan bersibuk-ria berlomba menarik perhatian para remaja dengan menggelar pesta perayaan yang tak jarang berlangsung hingga larut malam. Semua pesta bermuara pada satu hal yaitu Valentine's Day. Biasanya mereka saling mengucapkan "selamat hari Valentine", berkirim kartu dan bunga, saling bertukar pasangan, saling curhat, menyatakan sayang atau cinta karena anggapan saat itu adalah “hari kasih sayang”. Benarkah demikian?
Asal mula Valentine
Ada berbagai versi tentang asal muasal Valentin’s Day. Beberapa ahli mengatakan bahwa ia berasal dari seorang yang bernama Saint (Santo) Valentine seorang yang dianggap suci oleh kalangan Kristen yang menjadi martir karena menolak untuk meninggalkan agama Kristiani. Dia meninggal pada tanggal 14 Pebruari 269 M., di hari yang sama saat dia menyerahkan ucapan cinta. Dalam legenda yang lain disebutkan bahwa dia meninggalkan satu catatan perpisahan pada seorang gadis anak sipir penjara yang menjadi temannya. Dalam catatan itu dia menuliskan tanda tangan yang berbunyi “From Your Valentine” ada pula yang menyebutkan bahwa bunyi pesan akhir itu adalah “Love From Your Valentine”.
Cerita lain menyebutkan bahwa Valentine mengabdikan dirinya sebagai pendeta pada masa pemerintahan Kaisar Claudius. Claudius kemudian memenjarakannya karena dia menentang Kaisar. Penentangan ini bermula pada saat Kaisar berambisi untuk membentuk tentara dalam jumlah yang besar. Dia berharap kaum lelaki untuk secara suka rela bergabung menjadi tentara. Namun banyak yang tidak mau untuk terjun ke medan perang. Mereka tidak mau meninggalkan sanak familinya. Peristiwa ini membuat kaisar naik pitam. dia memutuskan untuk tidak mengijinkan laki-laki kawin supaya mereka mau menjadi tentara.
Kalangan remaja menganggap bahwa ini adalah hukum biadab. Valentine juga tidak mendukung ide gila ini. Sebagai seorang pendeta dia bertugas menikahkan lelaki dan perempuan. Bahkan setelah pemberlakuan hukum oleh kaisar, dia tetap melakukan tugasnya ini dengan cara rahasia peristiwa perkawinan diam-diam inilah yang menyeret dirinya ke dalam penjara dan akhirnya dijatuhi hukuman mati.
Di saat menjelang kematiannya dia menuliskan catatan kecil “Love from your Valentine". Dan pada tahun 496 Paus Gelasius menseting 14 Pebruari sebagai tanggal penghormatan untuk Saint Valentine. Akhirnya secara gradual 14 Pebruari menjadi tanggal saling tukar menukar pesan kasih dan Saint Valentine menjadi patron dari para penabur kasih. Tanggal ini ditandai dengan saling mengirim puisi dan hadiah seperti bunga dan gula-gula. Bahkan sering pula ditandai dengan adanya kumpul-kumpul atau pesta dansa.
Dari paparan di atas kita tahu bahwa kisah cinta Valentine ini merupakan kisah cinta milik kalangan Kristen dan sama sekali tidak memiliki benang merah budaya dan peradaban dengan Islam. Namun kenapa remaja-remaja muslim ikut larut dan merayakannya?
Hati-hati mengikis Moral
Rasulullah menyampaikan:
"Belum sempurna iman seseorang hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri", kasih sayang dalam Islam terhadap sesama tidaklah terbatas dengan waktu dan dimanapun berada, baik untuk keluarga, kerabat, dan sahabat yang semuanya masih dalam koridor-koridor agama Islam itu sendiri. Nabi Saw., bersabda : "Cintailah manusia seperti kamu mencintai dirimu sendiri." (H.R. Bukhari). Islam sangat melarang keras untuk saling membenci dan bermusuhan, namun sangat menjunjung tinggi akan arti kasih sayang terhadap umat manusia. Rasulullah saw. bersabda : "Janganlah kamu saling membenci, berdengki-dengkian, saling berpalingan, dan jadilah kamu sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara. Juga tidak dibolehkan seorang muslim meninggalkan (tidak bertegur sapa) terhadap sudaranya lewat tiga hari" HR. Muslim.
Disini jelas bahwa kita dianjurkan sekali untuk saling menjaga dan menghargai antar sesama sebagai tanda kasih sayang yang mesti dihormati. Hal ini untuk menghindari berbagai keburukan serta dapat mengenal antar sesama untuk memperkuat dan menjaga tali persaudaraan. Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Baihaqi melalui Anas ra. Nabi bersabda : "Tidak akan masuk surga kecuali orang yang penyayang", jadi jelas bahwa yang masuk surga itu hanyalah orang-orang yang mempunyai rasa kasih sayang yang tanpa dibarengi dengan niat-niat jelek.
Dengan datangnya Valentine's Day dikhawatirkan bagi kaum muda-mudi yang tidak mengerti akan mampu terjerumus dalam hal-hal negatif dengan mentafsirkan kasih sayang di hari. Disini kebanyakan mereka ber-hedonis ria, dan lebih parahnya melakukan perbuatan yang tidak senonoh antara laki-laki dan perempuan. Firman Allah swt.: "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." (Q.S. al-Israa':32), yakni perbuatan yang dilarang oleh agama baik secara terang-terangan maupun yang tersembunyi. Oleh karena itu kita mesti sadar apa arti yang sesungguhnya sebuah kasih sayang.
Pemuda Indonesia Tidak Perlu Rayakan Valentine
Sebagai pemuda-pemudi Indonesia, sepatutnya kita tidak perlu merayakan valentine. Meski dicaci sebagai orang yang katrok, tidak gaul, atau yang lainnya. Tidak perlu digubris, karena sesungguhnya mereka yang mengolok-olok tidak tahu asal muasa dari Valentine itu sendiri. Mereka hanya latah mengikut budaya yang baru nan hedonis.
Valentine sungguh sebuah budaya asing yang merusak. Karena spirit didalam valentine adalah mencari kepuasan belaka. Untuk berbagi kasih sayang tidak perlu menunggu moment valentine. Berbagi cinta kepada teman kita atau kepada istri sanak dan anak tidak perlu menunggu valentine. Setiap hari setiap saat setiap waktu kita mempunyai waktu untuk berbagi kasih sayang. Menebar cinta, dengan merayakan valentine berarti kita membatasi kasih sayang hanya pada saat tanggal 14 februari saja.
Marilah tebar kasih sayang dengan siapapun dan kapanpun. Coba kita lihat sekeliling, tetangga kita, teman kita, saudara kita sudahkah mendapat kasih sayang? Sudahkah kita memperhatikannya. Kalau memang belum segera. Tidak perlu menunggu tanggal 14 februari.
Biodata
Nama : Rangga Sa’adillah S.A.P.*
Alamat : Bojonegoro
Nomor tlp : 085730607630
Alamat E-Mail : ranggaopni@gmail.com
*Mahasiswa Tarbiyah, IAIN Sunan Ampel Surabaya. Pengurus Pesantren luhur al-Husna Surabaya. Pengurus FOSISKA (Forum Studi Sosial dan Keagamaan) Surabaya.
22 Februari 2010
MEMBONGKAR KERANCUAN PEMIIKIRAN AGUS MUSTOFA
Warning bagi penggemar buku serial Diskusi Tasawuf karangan Agus Mustofa. Sarjana lulusan Teknik Nuklir ini memang piawai dalam meramu bahasa, sehingga banyak dari bukunya menjadi Best Seller. Pemilihan judul yang kontroversial dan tabu untuk diperbincangkan berani Beliau angkat seperti “Ternyata Akhirat Tidak Kekal”, “Tak Ada Adzab Kubur?”, “Mengubah Takdir”, “Memahami al-Qur’an Dengan Metode Puzzle”.
Memang judul-judul tersebut merupakan rangkaian kata yang pas untuk menarik minat seseorang supaya terus membaca. Namun ternyata bukan hanya itu, judul-judul tersebut merupakan representasi dari gambaran isi buku. Agus Mustofa benar-benar berpendapat bahwa “akhirat tidak kekal”, “tidak ada adzab kubur”, dan seterusnya.
Pola pikir seperti demikianlah yang menjadikan penulis mempunyai greget untuk menelaah penyimpangan pemikiran Agus Mustofa. Penulis buku ini mengatakan, “kami jadi sadar, jika buku-buku Agus Mustofa itu dapat memberikan pengaruh negatif yang tidak sederhana dalam pola pikir dan tindakan umat Islam.” (Halaman 16). Karena memang pemikiran mengenai akhirat tidak kekal, akan mengakibatkan umat Islam bisa meremehkan pekerjaan-pekerjaan jelek yang dilakukan didunia, toh nantinya setelah disiksa juga akan musnah.
Agus Mustofa berani menulis demikian karena Beliau menciptakan sendiri pemahaman dalam menafsiri al-Qur’an dengan al-Qur’an (Tafsrul Qur’an bil Qur’an). Seharusnya Beliau harus memenuhi prasyarat sebelum menggunakan metode tersebut, seperti harus menguasi ulumul Qur’an, Ilmu Balaghah, dan sampai pada ilmu hadits. Ternyata tidak, penafsiran al-Qur’an yang digunakannya jauh dari ketentuan-ketentuan yang semestinya dipenuhi oleh seorang penafsir. Sehingga wajar jika pada penafsiran yang Beliau dapat terdapat kelemahan.
Agus Mustofa memang seringkali memperkuat argumennya dengan dalil-dalil yang ada dalam al-Qur’an. Semuanya diramu dengan apik sehingga pembaca merasa yakin bahwa argumen yang Beliau layangkan adalah benar. Namun dari sini penulis menyoroti bahwa Agus Mustofa telah mengenyampingkan hadits, tidak ada sama sekali keterangan dari hadits. Sehingga penulis berpendapat bahwa Beliau bisa dikategorikan sebagai orang yang anti hadits (Munkirus Sunnah).
Buku ini memang terlihat tebal sampai empat ratus halaman, namun sistematika kajiannya cukup sederhana. Hanya ada dua kajian, pertama menelaah penyimpangan metodologi yang dipakai oleh Agus Mustofa dalam meramu buku, dan yang kedua mengenai penyimpangan Agus Mustofa dari Aqidah yang benar.
Pada bagian pertama penulis menjelaskan tentang penyimpangan metodologi Agus Mustofa. Penulis mencoba menguak kerancuan-kerancuan pemikiran Beliau seperti dalam bukunya “Memahami al-Qur’an Metode Puzzle” penulis memberikan kritik bahwa dalam memahami al-Qur’an dengan metode tersebut Beliau tidak mengindahkan aturan main yang harus digunakan. “Metode Puzzle ciptaan Agus Mustofa itu tidak termasuk dalam kategori Tafsirul Qur’an bil Qur’an, dan ternyata setelah Beliau mengimpun ayat-ayat al-Qur’an yang dilakukan kemudian adalah memunculkan pemahaman baru dengan hanya bermodalkan akal, dengan tanpa merujuk pada Hadits plus metodologi yang absah, maka jelas metode puzzle Agus Mustofa itu paling identik dengan Tafsirul Qur’an bir-Ra’yi al-Madzmum (Tafsir al-Qur’an dengan rasio yang tercela)” (halaman 53).
Penulis juga memberikan warning terhadap pemikiran-pemikiran Agus Mustofa, seperti akhirat tidak kekal, tidak ada adzab kubur, tidak ada syafaat, Nabi Muhammad tidak ummi, Nabi Adam dilahirkan, segala sesuatu berada didalam Dzat Allah, dll, selain bertentangan dengan nash-nash al-Qur’an dan Hadits, kesimpulan-kesimpulan itu juga bertentangan dengan konsensus ulama (ijmak). Jadi dengan demikian, lengkap sudah pertentangan pemikiran Agus Mustofa dengan dasar-dasar yang disepakati umat sebagai landasan agama Islam, yakni al-Qur’an, Hadist, Ijmak, dan Qiyas (halaman 132).
Agus Mustofa kerap kali menampik pendapat para ulama’ yang telah memiliki otoritas dibidangnya, seperti ulama’ ahli Hadits, ahli tafsir, dan sebagainya. Sebagai kelaziman dari sikap anti-otoritas adalah penolakan terhadap pendapat-pendapat para pakar yang memiliki otoritas tersebut, bahkan menyalahkan pendapat-pendapat mereka, meski tanpa dilandasi argumentasi yang kuat.
Bagian kedua, adalah pembahasan mengenai penyimpangan aqidah. Agus Mustofa berpendapat bahwa baik dunia maupun akhirat sama-sama tidak kekal dan akan mengalami kehancuran karena yang kekal hanyalah eksistensi Allah. Penulis memberikan penjelasan bahwa kekalnya Allah dan kekalnya akhirat, dapat diketahui bahwa persamaannya hanya dalam segi bahasa dan pengungkapan saja, sedangkan esensinya jelas berbeda. Jadi meskipun Allah mengungkapkan kekekalan surga dan neraka (alam akhirat) beserta seluruh penghuninya dengan kata-kata “khalidin”, bukan berarti secara prinsip kekekalan Allah dan akhirat adalah sama.
Buku Beliau yang berjudul “Tak Ada Adzab kubur” juga disorot. Beliau sampai pada kesimpulan, informasi mengenai adzab kubur memang tidak memiliki dalil yang kuat dan meyakinkan dari al-Qur’an. Padahal keyakinan mengenai hal ini sangat urgen bagi umat Islam. Penulis mengungkapkan bahwa tidak semua permasalah yang tidak bisa dirujuk dengan tegas dalam al-Qur’an lantas bisa dinafikan. Betapa banyak permasalah yang rujukan lugasnya tidak tercantum dalam al-Qur’an, akan tetapi dijabarkan dalam Hadits, dan itupun juga harus diyakini kebenarannya (halaman 218).
Sampai pada bagian akhir buku ini adalah pendapat Agus Mustofa mengenai bukunya “Ternyata Adam dilahirkan”. Agus Mustofa berusaha menganalogikan proses penciptaan Adam dengan Isa melalui kehamilan dari seorang ibu. Padahal persepsi Agus Mustofa terhadap hal ini janggal. Ayat yang menjelaskan bahwa penciptaan Nabi Isa menakjubkan, sebab Beliau dilahirkan tanpa ayah, sama dengan keanehan proses penciptaan Nabi Adam. Namun, Agus Mustofa tidak tahu bahwa proses penciptaan Nabi Adam lebih menakjubkan daripada penciptaan Nabi Isa, sebab Nabi Adam diciptakan tanpa ayah dan ibu.
Buku ini berusaha menelaah bahkan mengoreksi pemikiran Agus Mustofa yang menyimpang. Sehingga bagi para penggemar buku-buku serial diskusi tasawuf modern karya Agus Mustofa perlu membaca buku ini. Namun dalam buku ini masih banyak istilah-istilah arabis sehingga akan sedikit mengerutkan kening dalam membacanya.
Judul Buku : MENELAAH PEMIKIRAN AGUS MUSTOFA Koreksi Terhadap Serial Buku Diskusi Tasawuf Modern
Penulis : A. Qusyairi Ismail, Moh. Achyat Ahmad
Penerbit : Pustaka Sidogiri Pondok Pesantren Sidogiri
Cetakan : Dzulhijjah, 1430 H.
Tebal : 418 halaman
Peresensi : Rangga Sa’adillah S.A.P.*
Biodata
Nama : Rangga Sa’adillah S.A.P.
Alamat : Bojonegoro
Nomor tlp : 085730607630
*Peresensi adalah Pengurus FOSISKA bidang Intelektual. Juga Pengurus Pesantren Luhur al-Husna dibawah bimbingan Prof. Dr. KH. Ali Maschan Moesa, M.Si.
Memang judul-judul tersebut merupakan rangkaian kata yang pas untuk menarik minat seseorang supaya terus membaca. Namun ternyata bukan hanya itu, judul-judul tersebut merupakan representasi dari gambaran isi buku. Agus Mustofa benar-benar berpendapat bahwa “akhirat tidak kekal”, “tidak ada adzab kubur”, dan seterusnya.
Pola pikir seperti demikianlah yang menjadikan penulis mempunyai greget untuk menelaah penyimpangan pemikiran Agus Mustofa. Penulis buku ini mengatakan, “kami jadi sadar, jika buku-buku Agus Mustofa itu dapat memberikan pengaruh negatif yang tidak sederhana dalam pola pikir dan tindakan umat Islam.” (Halaman 16). Karena memang pemikiran mengenai akhirat tidak kekal, akan mengakibatkan umat Islam bisa meremehkan pekerjaan-pekerjaan jelek yang dilakukan didunia, toh nantinya setelah disiksa juga akan musnah.
Agus Mustofa berani menulis demikian karena Beliau menciptakan sendiri pemahaman dalam menafsiri al-Qur’an dengan al-Qur’an (Tafsrul Qur’an bil Qur’an). Seharusnya Beliau harus memenuhi prasyarat sebelum menggunakan metode tersebut, seperti harus menguasi ulumul Qur’an, Ilmu Balaghah, dan sampai pada ilmu hadits. Ternyata tidak, penafsiran al-Qur’an yang digunakannya jauh dari ketentuan-ketentuan yang semestinya dipenuhi oleh seorang penafsir. Sehingga wajar jika pada penafsiran yang Beliau dapat terdapat kelemahan.
Agus Mustofa memang seringkali memperkuat argumennya dengan dalil-dalil yang ada dalam al-Qur’an. Semuanya diramu dengan apik sehingga pembaca merasa yakin bahwa argumen yang Beliau layangkan adalah benar. Namun dari sini penulis menyoroti bahwa Agus Mustofa telah mengenyampingkan hadits, tidak ada sama sekali keterangan dari hadits. Sehingga penulis berpendapat bahwa Beliau bisa dikategorikan sebagai orang yang anti hadits (Munkirus Sunnah).
Buku ini memang terlihat tebal sampai empat ratus halaman, namun sistematika kajiannya cukup sederhana. Hanya ada dua kajian, pertama menelaah penyimpangan metodologi yang dipakai oleh Agus Mustofa dalam meramu buku, dan yang kedua mengenai penyimpangan Agus Mustofa dari Aqidah yang benar.
Pada bagian pertama penulis menjelaskan tentang penyimpangan metodologi Agus Mustofa. Penulis mencoba menguak kerancuan-kerancuan pemikiran Beliau seperti dalam bukunya “Memahami al-Qur’an Metode Puzzle” penulis memberikan kritik bahwa dalam memahami al-Qur’an dengan metode tersebut Beliau tidak mengindahkan aturan main yang harus digunakan. “Metode Puzzle ciptaan Agus Mustofa itu tidak termasuk dalam kategori Tafsirul Qur’an bil Qur’an, dan ternyata setelah Beliau mengimpun ayat-ayat al-Qur’an yang dilakukan kemudian adalah memunculkan pemahaman baru dengan hanya bermodalkan akal, dengan tanpa merujuk pada Hadits plus metodologi yang absah, maka jelas metode puzzle Agus Mustofa itu paling identik dengan Tafsirul Qur’an bir-Ra’yi al-Madzmum (Tafsir al-Qur’an dengan rasio yang tercela)” (halaman 53).
Penulis juga memberikan warning terhadap pemikiran-pemikiran Agus Mustofa, seperti akhirat tidak kekal, tidak ada adzab kubur, tidak ada syafaat, Nabi Muhammad tidak ummi, Nabi Adam dilahirkan, segala sesuatu berada didalam Dzat Allah, dll, selain bertentangan dengan nash-nash al-Qur’an dan Hadits, kesimpulan-kesimpulan itu juga bertentangan dengan konsensus ulama (ijmak). Jadi dengan demikian, lengkap sudah pertentangan pemikiran Agus Mustofa dengan dasar-dasar yang disepakati umat sebagai landasan agama Islam, yakni al-Qur’an, Hadist, Ijmak, dan Qiyas (halaman 132).
Agus Mustofa kerap kali menampik pendapat para ulama’ yang telah memiliki otoritas dibidangnya, seperti ulama’ ahli Hadits, ahli tafsir, dan sebagainya. Sebagai kelaziman dari sikap anti-otoritas adalah penolakan terhadap pendapat-pendapat para pakar yang memiliki otoritas tersebut, bahkan menyalahkan pendapat-pendapat mereka, meski tanpa dilandasi argumentasi yang kuat.
Bagian kedua, adalah pembahasan mengenai penyimpangan aqidah. Agus Mustofa berpendapat bahwa baik dunia maupun akhirat sama-sama tidak kekal dan akan mengalami kehancuran karena yang kekal hanyalah eksistensi Allah. Penulis memberikan penjelasan bahwa kekalnya Allah dan kekalnya akhirat, dapat diketahui bahwa persamaannya hanya dalam segi bahasa dan pengungkapan saja, sedangkan esensinya jelas berbeda. Jadi meskipun Allah mengungkapkan kekekalan surga dan neraka (alam akhirat) beserta seluruh penghuninya dengan kata-kata “khalidin”, bukan berarti secara prinsip kekekalan Allah dan akhirat adalah sama.
Buku Beliau yang berjudul “Tak Ada Adzab kubur” juga disorot. Beliau sampai pada kesimpulan, informasi mengenai adzab kubur memang tidak memiliki dalil yang kuat dan meyakinkan dari al-Qur’an. Padahal keyakinan mengenai hal ini sangat urgen bagi umat Islam. Penulis mengungkapkan bahwa tidak semua permasalah yang tidak bisa dirujuk dengan tegas dalam al-Qur’an lantas bisa dinafikan. Betapa banyak permasalah yang rujukan lugasnya tidak tercantum dalam al-Qur’an, akan tetapi dijabarkan dalam Hadits, dan itupun juga harus diyakini kebenarannya (halaman 218).
Sampai pada bagian akhir buku ini adalah pendapat Agus Mustofa mengenai bukunya “Ternyata Adam dilahirkan”. Agus Mustofa berusaha menganalogikan proses penciptaan Adam dengan Isa melalui kehamilan dari seorang ibu. Padahal persepsi Agus Mustofa terhadap hal ini janggal. Ayat yang menjelaskan bahwa penciptaan Nabi Isa menakjubkan, sebab Beliau dilahirkan tanpa ayah, sama dengan keanehan proses penciptaan Nabi Adam. Namun, Agus Mustofa tidak tahu bahwa proses penciptaan Nabi Adam lebih menakjubkan daripada penciptaan Nabi Isa, sebab Nabi Adam diciptakan tanpa ayah dan ibu.
Buku ini berusaha menelaah bahkan mengoreksi pemikiran Agus Mustofa yang menyimpang. Sehingga bagi para penggemar buku-buku serial diskusi tasawuf modern karya Agus Mustofa perlu membaca buku ini. Namun dalam buku ini masih banyak istilah-istilah arabis sehingga akan sedikit mengerutkan kening dalam membacanya.
Judul Buku : MENELAAH PEMIKIRAN AGUS MUSTOFA Koreksi Terhadap Serial Buku Diskusi Tasawuf Modern
Penulis : A. Qusyairi Ismail, Moh. Achyat Ahmad
Penerbit : Pustaka Sidogiri Pondok Pesantren Sidogiri
Cetakan : Dzulhijjah, 1430 H.
Tebal : 418 halaman
Peresensi : Rangga Sa’adillah S.A.P.*
Biodata
Nama : Rangga Sa’adillah S.A.P.
Alamat : Bojonegoro
Nomor tlp : 085730607630
*Peresensi adalah Pengurus FOSISKA bidang Intelektual. Juga Pengurus Pesantren Luhur al-Husna dibawah bimbingan Prof. Dr. KH. Ali Maschan Moesa, M.Si.