12 Maret 2009

Salah Satu Peredam Konflik

Judul Buku : Pendidikan Multikultural
Penulis : Chairul Mahfudz
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : II, 2008
Tebal : xxx+302
Peresensi : M. Anis Subaidi *

Sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Indonesia adalah sebuah Negara yang penuh dengan beragam kekayaan etnis, budaya, ras, suku, dan agama. Pertentangan antar etnis, budaya, suku pun tidak asing lagi di telinga kita, seperti halnya konflik suku Madura dan Dayak (Kalimantan Tengah) yang terjadi beberapa tahun lalu yang mengakibatkan terbunuhnya 315 orang, konflik Ambon, konflik Aceh yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, hal seperti itu harus kita antisipasi agar kejadian yang menimpa negeri ini tidak terulang lagi di masa-masa yang akan mendatang. Sekarang yang jadi pertanyaan bagaimana kita lepas dari kejadian tersebut? dan mampukah Negara tercinta ini menyelesaikan semua kejadian-kejadian tersebut?


Mencermati dari semua fenomena yang menghiasi wajah Indonesia ini satu hal yang perlu kita ubah yaitu pendidikan. Contohnya pada masa Orde Baru, pendidikan hanya sebagai indoktrinasi dari politik yang berkuasa. Pada saat itu tidak ada satupun ruang identitas lokal yang menguasai dan semua itu adalah ciri dari penguasa waktu itu”Orde Baru”, seperti halnya yang di ungkapkan oleh seorang tokoh agama dan sekaligus mantan presiden negeri ini yaitu KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dia mengatakan: bahwa setiap pemimpin yang tidak punya rasa keseragaman (multikulturalisme) dan keselarasan, berarti semua itu menyimpang dari Bhinneka Tunggal Ika yang jadi semboyan Negeri ini.


Buku pendidikan multikultural yang di tulis oleh Choirul Mahfud adalah salah satu buku yang mengupas tentang kemajemukan budaya yang ada di Indonesia, dan pendidikan yang ada di Indonesia harus mengacu pada kebudayaan lokal sendiri. Pendidikan multikultural merupakan wujud dari kesadaran dari keanekaragaman kultur dan suku. Di Indonesia pendidikan multikultural baru saja dikenal sebagai dari pendekatan yang sesuai terhadap bangsa Indonesia.


Sebetulnya kalau kita amati pendidikan multikultural tersebut adalah salah satu contoh bahwa kita menerima dan menghargai pebedaan dan kesamaan derajat masyarakat Indonesia. Dalam buku itu juga disebutkan bahwa setiap peradapan dan kebudayaan yang ada berada dalam posisi yang sejajar dan tidak ada satupun yang lebih tinggi, kalau salah satu kebudayan di anggap lebih tinggi maka akan menimbulkan suatu faham yang akan membawa kita kepada kesenjangan sosial. Untuk menciptakan pendidikan multikultural kata penulis ada dua kategori, yaitu:dialog dan toleransi. Pendidikan multikultural tidak akan terwujud tampa adanya dialog, karena dialog adalah salah satu cara atau metode untuk meminimalisir atas terjadinya kekerasan, perbedaan dan dengan adanya dialog kita akan menumukan satu titik temu (kalimatun sawa’) terhadap kebudayaan tersebut.


Toleransi adalah merupakan sikap menghargai terhadap keseragaman, baik itu antar umat agama, ras, suku, budaya, ataupun elit politik yang berkuasa saat ini dan dengan sikap toleran itu kita bisa memahami betapa besar kebersamaan. Kedua solusi tersebut harus diterapkan untuk menjaga dan menciptakan pendidikan multikulturalisme itu sendiri. Pada dasarnya pendidikan multikultural itu keberadaannya tidak cukup lama yaitu sekitar tahun 1970-an di Kanada dan Amerika Serikat, Australia dll.


Pada waktu itu Kanada mengalami krisis keseragaman dan kondisi masyarakat disana sangat memprihatinkan, sehingga untuk mengatasi semua persoalan di Kanada pada saat itu pula diterapkan konsep masyarakat yang multikultural dan hal itu tidak hanya sebagai wacana belaka tetapi juga sebagai ideologi masyarakat dari masyarakat yang multikultural.


Untuk mewujudkan masyarakat yang demikian sangatlah susah, tidak seperti kita membalikkan telapak tangan, akan tetapi ada satu hal yang dapat kita lakukan yaitu dengan mengundang beberapa pemimpin Negara, sejarawan, dosen, mahasiswa dengan melakukan seminar ataupun dialog terbuka.


Melihat dari konteks multikulturalisme tersebut kita harus bersikap toleran dan tidak saling menyalahkan satu sama lain seperti halnya kejadian yang menimpa aliran Ahmadiyah pada waktu lalu yang di serbu warga karena aliran tersebut dinyatakan sesat. Sebagai masyarakat yang demokratis, toleran, dan majemuk kita tidak bisa main hakim sendiri, karena bagaimanapun kita adalah satu keluarga yaitu keluarga (Indonesia) dan kejadian tersebut kita bisa selesaikan dengan cara kekeluargaan (dialog).


Sebagai semangat untuk merubah Negeri yang penuh dengan konflik ini, Choirul Mahfud hadir dengan menghadirkan buku pendidikan multikultural. Sebagai salah satu dari banyaknya keanekaragaman budaya Indonesia. Selain itu juga menghadapi datangnya era globalisasi yang akan berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan, salah satunya adalah budaya dan ekonomi. Sehingga dengan adanya pendidikan yang multikultural anak didik dapat membaca realitas yang terjadi dan bisa menyeleksi terhadap keanekaragaman bangsa dan bukan itu saja akan tetapi dapat besikap toleran.


Pendidikan multikultural semoga dapat mengubah terhadap monokultural yang selama ini kita pakai dan diskriminasi terhadap budaya lain tidak ada lagi.selain itu, ini mungkin dapat terwujud dengan adanya anggaran pendidikan yang saat ini mencapai 20% dan juga dukungan dari berbagai kalangan, perubahan materi pembelajaran dan system pembelajaran juga harus di rubah agar pendidikan yang multickultural dapat terwujud sesuai dengan yang di cita-citakan negeri ini.

*Aktivis Forum Studi Ilmu Sosial & Keagamaan (Fosiska) Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya.

20 Februari 2009

PONARI, tamparan buat pemerintah

Oleh: Dwi Agung Prasetyo*

Dua minggu belakangan berbagai media baik cetak maupun elektronik ramai membincangkan sosok bocak 10 tahun bernama ponari. Sesungguhnya tidak ada yang istimewa dari dirinya kecuali batu yang dimilikinya. Dengan batu yang konon sakti, dia membuka praktek pengobatan. Banyak testimony tentang kesembuhan pasien pasca meminum air yang sudah dicelupi batu-yang menurut sebuah stasiun tv swasta- berasal dari dewa petir. Meski banyak juga yang kecewa karena tak kunjung mendapat kesembuhan.


Sesungguhnya membludaknya “pasien” ponari bukan semata-mata diakibatkan oleh oleh pola piker masyarakat yang percaya pada hal-hal yang berbau klenik. Banyak factor lain yang menyebabkan laris manisnya “praktek pengobatan” ponari.


Kemiskinan mungkin bias menjadi salah satu factor lain tersebut. Cukup dengan biaya kurang dari sepuluh ribu perak, calon pasien sudah bias mendapat tiket untuk menuju kesembuhan. Bandingkan dengan praktik dokter di Surabaya, yang hanya untuk meminta surat keterangan dokter saja membutuhkan biaya lima belas ribu rupiah. Segelas air mineral seharga lima ratus rupiah untuk sekali tenggak tentu lebih murah jika dibandingkan dengan resep dokter yang diminum tiga kali sehari dan terkadang belum mampu memberikan kesembuhan dalam waktu dua hari. Ponari tentu saja memberikan pilihan alternative kepada masyarakat. Selain murah, dia juga memberikan penawaran lain yakni berupa kesembuhan instan.


Pemerintah juga punya andil yang cukup besar terhadap fenomena ponari ini. System layana kesehatan yang dikelola pemerintah belum mampu menyedot perhatian khalayak ramai. Puskesmas yang menjadi ujung tobak pelayanan pemerintah dalam bidang kesehatan dinilai kurang memuaskan sehingga ramailah orang berbondong-bondong mencari pengobatan alternative. Administrasi berbelit disamping layanan yang kurang ramah dari petugas jaga adalah sedikit dari banyak factor yang membuat masyarakat menjauh dari puskesmas.


Andai saja puskesmas memberikan pelayanan yang murah dan baik bak pelayanan kepada raja, niscaya praktek pengobatan ponari dan praktek-praktek lain yang sejenis akan ditinggalkan masyarakat dengan sendirinya. Kita layak berharap agar pemerintah bias mewujudkan system pelayanan kesehatan yang prima. Semoga pemerintah dapat melaksanakannya.


* penulis adalah mahasiswa fakultas tarbiyah jurusan kependidikan islam IAIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di FOSISKA

14 Januari 2009

DINAMIKA atau POCO-POCO (Bagian II)

oleh: Rangga Sa'dillah*

Bisa dikatakan Islam zaman Rasulullah adalah fase perkembangan pertama islam. Meskipun Islam pada mulanya dikatakan sebagai foreign doctrin lama-kelamaan Islam bisa diterima dan telah mendarah daging, sehingga sulit bagi mereka yang telah jatuh cinta terhadap Islam melepaskan keyakinannya begitu saja. Terbukti, banyak para sahabat yang telah memeluk Islam dan mendapatkan ancaman dari kaum Kafir Quraisy dengan gigihnya mereka tetap mempertahankan keyakinan yang mendarah daging tersebut (Islam).



Pada masa Khulafa' Arrasyidin Islam mengalami pasang surut. Masa tersebut Islam mengalami masa transisi dari periode Rasulullah. Kebanyakan periode tersebut tenaga mereka terkuras dikarenakan menghadapi pemberotakan-pemberontakan. Sempat mengalami kemajuan pada Khalifah Umr bin Khattab Beliau telah melakukan ekspansi salah satu dari hasil ekspansi, sehingga wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arab, Palestina, Syirian, dan sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir. Namun, ternyata masa keemasan ini tidak berlangsung lama Khalifah Utsman bin Affan dan Khalifah Ali bin Abi Thalib banyak disibukkan dengan pemberontakan-pemberontakan. Sekali lagi apakah yang lebih pantas "poco-poco" atau "dinamika"?



Periode baru dimulai gaya kepemimpinan baru pun diperkenalkan. Memang Rasulullah menyerahkan persoalan pergantian kepemimpinan pasca Beliau kepada kaum Muslimin. Karena itulah, Muawwiyah yang segaris keturunan dari Khalifah Utsman bin Affan berani mengambil kepemimpinan pasca Khulaurrasyidin berkuasa. Kepemimpinan Islam pada masa ini memang sangat beda dengan yang sebelum-sebelumnya (Khulafaurrasyidin) karena Muawwiyah menerapkan sistem kerajaan. Hal ini terbukti dengan diangkatnya Yazid bin Muawwiyah menjadi Putra Mahkota calon penggantinya kelak.



Hal yang positif dari kepemimpinan Khulafaurrasyidin benar-benar menerapkan sistem musyawarah (demokratis). Namun, beda halnya dengan Dinasti Umayyah pemerintahan yang bersifat demokratis berubah menjadi monarchiherideti. Kekhalifahan Muawiyyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya. Tampaknya Muawiyah bermaksud meniru monarchi di Persia dan Bizantium. Kekuasaan Bani Umayyah ini kurang lebih 90 tahun. Khalifah-khalifah besar dinasti Umayyah adalah Muawwiyah bin Abi Sufyan (661-680 M), Abdul Malik bin Marwan (685-705 M), Al-Walid bin Abdul Malik (705-715 M), Umar bin Abdul Aziz (717-720 M), dan Hisyam bin Abdul Malik (724-743 M).



Secara garis besar Islam pada masa Dinasti Umayyah telah go up pada wilayah kekuasaannya. Tercatat Kepemimpinan Al-Walid bin Abdul Malik telah berhasil membawa panji Islam sampai menuju Eropa, juga atas jasa trio penakluk Cordova Islam bisa berdiri Spanyol, mereka adalah (Tahrif bin Malik, Thariq bin Ziyad, Musa bin Nushair). Sempat Islam mengalammi kemajuan disana sampai-sampai melahirkan difusi kebudayaan. Disana Islam juga sempat melahirkan sarjana-sarjana yang kompeten seperti Abu Bakr Muhammad ibn Al-Sayigh (Ibn Bajjah) ahli Filsafat, Al-Farabi seorang ahli filsafat, Ibn Sina seorang ahli filsafat dan kedokteran, Al-Hasan bint Abi Ja'far ahli kedokteran wanita, Ibn Jubair seorang ahli Geografi, Ziyad bin Al-Rahman seorang ahli Fiqih, Al-Hasan bin Nafi seorang ahli seni, Al-Hajj seorang ahli Bahasa. Hampir semua sektor ilmu pengetahuan dikuasai oleh kaum Muslimin. Sehingga, mengakibatkan kaum Kristen yang berada didaerah sekitar sana menjadi iri atas kemajuan Islam. Sehingga, pada saat itu wilayah kekuasaan Islam bertambah luas sampai keantero Eropa. Bisa dikatakan Islam maju ketika zaman tersebut dalam hal wilayah kekuasaan.



Namun, apakah yang terjadi dengan Islam pada masa Yazid? Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid kemudian mengirim surat kepada Gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk menagmbil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husein bin Ali, dan Abdullah nin Zubair. Bersamaan dengan itu Syiah (pengikut Ali) melakukan konsolidasi (penggabungan) kekuaan kembali. Perlawanan terhadap Bani Umayyah dimulai oleh Husein bin Ali. Pada tahin 680 M, ia pindah dari Makkah ke Kuffah atas permintaan golongan Syiah yang ada di Irak. Umat Islam pada daerah ini tidak mengakui Yazid. Mereka mengangkat Husei sebagai Khalifah . Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbala, sebuah daerah dekat Kuffah, tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbala.



Memang sempat terjadi konflik pada masa Khalifah Yazid konflik tersebut terkenal dengan sebutan padang Karbala peristiwa terbunuhnya Husein bin Ali bin Abi Thalib cucu kesayangan Rasulullah. Beda halnya masa Khlaifah Umar bin Abdul Al-Aziz (717-720 M) Beliau adalah seorang yang alim prioritas utama Beliau adalah pembangunan dalam negeri. Belum lagi Islam sempat berkembang keKhalifahan diganti oleh Yazid bin Abdil Malik (720-724 M) penguasa yang satu ini terlalu gandrung dengan kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan masyarakat. Rakyat yang sebelumnya hidup dalam ketentraman dan kedamaian, pada zamannya berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi dengan kepemerintahan Yazid bin Abdil Malik Akhirnya, sepeninggal Khalifah Hisyam bin Abd Al-Malik yang mana Khalifah-khalifah tersebut bermoral buruk maka pada tahun 750 M, daulat Bani Umayyah digulingkan oleh Abdullah Al-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Al-Abbas.


* penulis adalah mahasiswa tarbiyah dan aktif dalam forum diskusi FOSISKA

07 Januari 2009

Tanggapan untuk Tulisan Ketut Abid Halimi

from: Lexy

setiap manusia sama mempunyai potensi untuk menafsirkan segala sesuatu. kita tidak boleh mengklaim bahwa seseorang itu jahat atau tidak, benar atau tidak atau sampai kepada kafir atau tidak. semua agama sama mengajarkan nilai-nilai kedamaian dan keadilan dan mencintai sesama. kita jangan terlalu lama berlarut hanya selalu mempersoalkan hal-hal sepele........ seperti itu. padahal hanya terjebak pada pendefinisian saja....... semua agama benar dan akan ketemu di langit-langit Tuhan nanti. benar-salah itu urusan Tuhan (dengan "T" besar) nanti di hari kiamat. hanya ada satu catatan dari tulisan saya kita hidup di Negeri Pancasila dibawah naungan Bhinneka Tunggal Ika.

salam damai untuk semua

04 Januari 2009

DINAMIKA ATAUKAH POCO-POCO? (Bagian I)

oleh: Rangga Sa'adillah


Agaknya ada dua kata yang hampir mirip berhubungan dengan perkembangan dunia Islam yakni poco-poco dan dinamika. Dalam sejarahnya Islam sempat mengalami kemajuan dan perkembangan. Dan dalam sejarahnya pulalah Islam sempat mengalami kemunduran. Entah apakah hal tersebut pantas disebut poco-poco atau dinamika perkembangan Islam. Bukankah kita tahu bahwa yang dinamakan poco-poco adalah senam yang sempat ngetren pada tahun 2000-an yang lalu. Ingatkah Anda dengan senam tersebut, yang mana dalam senam tersebut terdapat gerakan maju dan mundur. Atau apakah ini refleksi dari Islamic Development? Tidak juga maju dan tidak juga mundur. Ataukah poco-poco itu diganti dengan dinamika yang pemilihan redaksinya sendiri lebih pantas dan mengandung interpertasi positif dari pada poco-poco. Marilah ditelisik pada coretan berikut ini.


Pada mulanya Islam merupakan Agama Samawi yang langsung diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah (Muhammad SAW) dengan kitab Al-Qur'an sebagai pegangannya. Pada awal Islam itu sendiri muncul banyak kalangan dari orang-orang yang terdekat dengan Beliau (Muhammad) mengajukan protes kepadanya dikarenakan membawa risalah yang "asing" dan sangat berlainan sekali dengan mother religion daerah tersebut. Beliau mengalami perlawanan hebat dari orang-orang yang tidak setuju dengan risalah tersebut, bahkan tidak cukup dengan perlawanan, nyawa Beliau juga diancam oleh orang-orang yang tidak suka dengan risalah tersebut (Islam). Sampai akhirnya Beliau menyusun strategi untuk meninggalkan kampung halamannya (Makkah) menuju tempat yang lebih damai yakni (Madinah), ritual inilah yang kita sebut sebagai Hijrah. Disana Beliau dihadapkan dengan masyarakat yang multikultural dan multidinamis. Namun, karena kepiawaian Beliau maka berhasil me-manage kondisi tersebut sehingga memungkinkan Beliau untuk menyusun kekuatan demi terpenuhinya rasa aman dan rasa saling menyayangi. Islam ternyata lebih diterima di Madinah, dan sampai akhirnya kondisi yang diimpi-impikan tersebut menjadi nyata. Ini adalah awal dari perkembangan Islam.


Berlanjut pada masa Khulafaurrasyidin. Khalifah pertama adalah Abubakar Ash-Shiddiq. Masa ini merupakan masa yagn melelahkan bagi perkembangan Islam. Islam bisa dikatakan mundur pada masa ini karena pasca nabi Muhammad wafat, ternyata banyak pengikut-pengikut Beliau yang mulanya mengaku beriman kepada Allah dan Rasulullah (Muhammad) ternyata berbuat munafik. Mereka banyak yang tidak membayar zakat, keluar dari agama Islam, bahkan sampai-sampai ada yang mengaku sebagai nabi penerus dari risalah Muhammad. Hal ini merupakan embrio kemunduran pertama Islam. Seorang Abubakar Ash-Shiddiq yang ketika itu menjabat sebagai Khalifah (pemimpin) dihadapkan dengan kondisi seperti itu. Juga sungguh melelahkan, sebagai punishment bagi orang yang munafik Beliau terpaksa mengangkat senjata secara terang-terangan terhadap mereka melalui perang Riddah. Umar bin Khattab yang merupakan pengganti dari Abu Bakar Ash-Shiddiq berhasil membawa Islam menuju kejayaannya. Beliau berhasil melakukan ekspansi-ekspansi keluar daerah Madinah. Bahkan Beliau sempat menguasai Yerussalem. Pemerintahan Umar bin Khattab terkenal dengan pemerintahan yang demokratis dan hampir mendekati republic. Sistem kepemimpinannya ini banyak ditiru oleh Negara-negara berkembang dewasa ini. Umar juga bijaksana dalam hal diplomat. Beliau mengutamakan persamaan hak semua warga Negara. Terbukti dari penaklukkan Yerussalem beliau pernah berpidato yang isinya, bahwa Beliau akan melindungi semua warga Negara meskipun itu non-Muslim. Ini adalah second progress dari Islam. Berbeda dari kepemimpinan Utsman bin Affan banyak terjadi pemberontakan-pemberontakan, selain itu Beliau menjabat sebagai Khalifah di usianya yang senja sehingga seakan-akan Beliau hanya menjadi symbolic leader. Yang lebih parahnya lagi Beliau juga mengambil kebijaksanaan yang lain dari yang lain Beliau mengangkat sanak familinya sebagai pegawai-pegawai penting kepemerintahan. Tentunya tindakan ini menimbulkan pikiran negatif bagi mereka yang radikal dengan kebijakan tersebut. Dari konflik-konflik serta kebijaksanaan tersebut kepemimpinan pada masa Khalifah Utsman bin Affan bisa dikatakan go back. Namun bukan berarti Khalifah Utsman bin Affan tidak melakukan kegiatan yang berarti, pada masanya Beliau telah membangun masjid-masjid dan Beliau juga membuat irigasi-irigasi. Menuju keKhalifah Ali bin Abi Thalib. Belum tuntas konflik yang telah terjadi dimasa Khalifah Utsman bin Affan, Khalifah Ali bin Abi Thalib ternyata melahirkan konflik lagi. Telah meletus perang Jamal, yang disebabkan oleh ketidak puasan Muawwiyah atas darah Khalifah Utsman bin Affan yang terbuang sia-sia. Perang ini dinamakan perang Jamal karena pada saat itu Aisyah istri dari Rasulullah menggunakan unta. Disamping terjadinya perang Jamal yang tak kalah merugikannya lagi Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik yakni khawarij, Syiah, Sunni. Dari hal tersebut pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib Islam mengalami kemunduran.


Telah jelas bahwa dari dua periode Islam (masa Rasulullah dan masa Khulafaur Rasyidin) terjadi kemajuan dan kemunduran. Entah kata apakah yang pantas utuk disandangkan, apakah Islam ber "poco-poco" ataukah berdinamika.





* Penulis adalah Santri Ponpes Al-Husna Surabaya, Mahasiswa Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Sby.