Judul Buku : Pendidikan Multikultural
Penulis : Chairul Mahfudz
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : II, 2008
Tebal : xxx+302
Peresensi : M. Anis Subaidi *
Sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Indonesia adalah sebuah Negara yang penuh dengan beragam kekayaan etnis, budaya, ras, suku, dan agama. Pertentangan antar etnis, budaya, suku pun tidak asing lagi di telinga kita, seperti halnya konflik suku Madura dan Dayak (Kalimantan Tengah) yang terjadi beberapa tahun lalu yang mengakibatkan terbunuhnya 315 orang, konflik Ambon, konflik Aceh yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, hal seperti itu harus kita antisipasi agar kejadian yang menimpa negeri ini tidak terulang lagi di masa-masa yang akan mendatang. Sekarang yang jadi pertanyaan bagaimana kita lepas dari kejadian tersebut? dan mampukah Negara tercinta ini menyelesaikan semua kejadian-kejadian tersebut?
Mencermati dari semua fenomena yang menghiasi wajah Indonesia ini satu hal yang perlu kita ubah yaitu pendidikan. Contohnya pada masa Orde Baru, pendidikan hanya sebagai indoktrinasi dari politik yang berkuasa. Pada saat itu tidak ada satupun ruang identitas lokal yang menguasai dan semua itu adalah ciri dari penguasa waktu itu”Orde Baru”, seperti halnya yang di ungkapkan oleh seorang tokoh agama dan sekaligus mantan presiden negeri ini yaitu KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dia mengatakan: bahwa setiap pemimpin yang tidak punya rasa keseragaman (multikulturalisme) dan keselarasan, berarti semua itu menyimpang dari Bhinneka Tunggal Ika yang jadi semboyan Negeri ini.
Buku pendidikan multikultural yang di tulis oleh Choirul Mahfud adalah salah satu buku yang mengupas tentang kemajemukan budaya yang ada di Indonesia, dan pendidikan yang ada di Indonesia harus mengacu pada kebudayaan lokal sendiri. Pendidikan multikultural merupakan wujud dari kesadaran dari keanekaragaman kultur dan suku. Di Indonesia pendidikan multikultural baru saja dikenal sebagai dari pendekatan yang sesuai terhadap bangsa Indonesia.
Sebetulnya kalau kita amati pendidikan multikultural tersebut adalah salah satu contoh bahwa kita menerima dan menghargai pebedaan dan kesamaan derajat masyarakat Indonesia. Dalam buku itu juga disebutkan bahwa setiap peradapan dan kebudayaan yang ada berada dalam posisi yang sejajar dan tidak ada satupun yang lebih tinggi, kalau salah satu kebudayan di anggap lebih tinggi maka akan menimbulkan suatu faham yang akan membawa kita kepada kesenjangan sosial. Untuk menciptakan pendidikan multikultural kata penulis ada dua kategori, yaitu:dialog dan toleransi. Pendidikan multikultural tidak akan terwujud tampa adanya dialog, karena dialog adalah salah satu cara atau metode untuk meminimalisir atas terjadinya kekerasan, perbedaan dan dengan adanya dialog kita akan menumukan satu titik temu (kalimatun sawa’) terhadap kebudayaan tersebut.
Toleransi adalah merupakan sikap menghargai terhadap keseragaman, baik itu antar umat agama, ras, suku, budaya, ataupun elit politik yang berkuasa saat ini dan dengan sikap toleran itu kita bisa memahami betapa besar kebersamaan. Kedua solusi tersebut harus diterapkan untuk menjaga dan menciptakan pendidikan multikulturalisme itu sendiri. Pada dasarnya pendidikan multikultural itu keberadaannya tidak cukup lama yaitu sekitar tahun 1970-an di Kanada dan Amerika Serikat, Australia dll.
Pada waktu itu Kanada mengalami krisis keseragaman dan kondisi masyarakat disana sangat memprihatinkan, sehingga untuk mengatasi semua persoalan di Kanada pada saat itu pula diterapkan konsep masyarakat yang multikultural dan hal itu tidak hanya sebagai wacana belaka tetapi juga sebagai ideologi masyarakat dari masyarakat yang multikultural.
Untuk mewujudkan masyarakat yang demikian sangatlah susah, tidak seperti kita membalikkan telapak tangan, akan tetapi ada satu hal yang dapat kita lakukan yaitu dengan mengundang beberapa pemimpin Negara, sejarawan, dosen, mahasiswa dengan melakukan seminar ataupun dialog terbuka.
Melihat dari konteks multikulturalisme tersebut kita harus bersikap toleran dan tidak saling menyalahkan satu sama lain seperti halnya kejadian yang menimpa aliran Ahmadiyah pada waktu lalu yang di serbu warga karena aliran tersebut dinyatakan sesat. Sebagai masyarakat yang demokratis, toleran, dan majemuk kita tidak bisa main hakim sendiri, karena bagaimanapun kita adalah satu keluarga yaitu keluarga (Indonesia) dan kejadian tersebut kita bisa selesaikan dengan cara kekeluargaan (dialog).
Sebagai semangat untuk merubah Negeri yang penuh dengan konflik ini, Choirul Mahfud hadir dengan menghadirkan buku pendidikan multikultural. Sebagai salah satu dari banyaknya keanekaragaman budaya Indonesia. Selain itu juga menghadapi datangnya era globalisasi yang akan berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan, salah satunya adalah budaya dan ekonomi. Sehingga dengan adanya pendidikan yang multikultural anak didik dapat membaca realitas yang terjadi dan bisa menyeleksi terhadap keanekaragaman bangsa dan bukan itu saja akan tetapi dapat besikap toleran.
Pendidikan multikultural semoga dapat mengubah terhadap monokultural yang selama ini kita pakai dan diskriminasi terhadap budaya lain tidak ada lagi.selain itu, ini mungkin dapat terwujud dengan adanya anggaran pendidikan yang saat ini mencapai 20% dan juga dukungan dari berbagai kalangan, perubahan materi pembelajaran dan system pembelajaran juga harus di rubah agar pendidikan yang multickultural dapat terwujud sesuai dengan yang di cita-citakan negeri ini.
*Aktivis Forum Studi Ilmu Sosial & Keagamaan (Fosiska) Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya.
0 komentar:
Posting Komentar