20 Februari 2009

PONARI, tamparan buat pemerintah

Oleh: Dwi Agung Prasetyo*

Dua minggu belakangan berbagai media baik cetak maupun elektronik ramai membincangkan sosok bocak 10 tahun bernama ponari. Sesungguhnya tidak ada yang istimewa dari dirinya kecuali batu yang dimilikinya. Dengan batu yang konon sakti, dia membuka praktek pengobatan. Banyak testimony tentang kesembuhan pasien pasca meminum air yang sudah dicelupi batu-yang menurut sebuah stasiun tv swasta- berasal dari dewa petir. Meski banyak juga yang kecewa karena tak kunjung mendapat kesembuhan.


Sesungguhnya membludaknya “pasien” ponari bukan semata-mata diakibatkan oleh oleh pola piker masyarakat yang percaya pada hal-hal yang berbau klenik. Banyak factor lain yang menyebabkan laris manisnya “praktek pengobatan” ponari.


Kemiskinan mungkin bias menjadi salah satu factor lain tersebut. Cukup dengan biaya kurang dari sepuluh ribu perak, calon pasien sudah bias mendapat tiket untuk menuju kesembuhan. Bandingkan dengan praktik dokter di Surabaya, yang hanya untuk meminta surat keterangan dokter saja membutuhkan biaya lima belas ribu rupiah. Segelas air mineral seharga lima ratus rupiah untuk sekali tenggak tentu lebih murah jika dibandingkan dengan resep dokter yang diminum tiga kali sehari dan terkadang belum mampu memberikan kesembuhan dalam waktu dua hari. Ponari tentu saja memberikan pilihan alternative kepada masyarakat. Selain murah, dia juga memberikan penawaran lain yakni berupa kesembuhan instan.


Pemerintah juga punya andil yang cukup besar terhadap fenomena ponari ini. System layana kesehatan yang dikelola pemerintah belum mampu menyedot perhatian khalayak ramai. Puskesmas yang menjadi ujung tobak pelayanan pemerintah dalam bidang kesehatan dinilai kurang memuaskan sehingga ramailah orang berbondong-bondong mencari pengobatan alternative. Administrasi berbelit disamping layanan yang kurang ramah dari petugas jaga adalah sedikit dari banyak factor yang membuat masyarakat menjauh dari puskesmas.


Andai saja puskesmas memberikan pelayanan yang murah dan baik bak pelayanan kepada raja, niscaya praktek pengobatan ponari dan praktek-praktek lain yang sejenis akan ditinggalkan masyarakat dengan sendirinya. Kita layak berharap agar pemerintah bias mewujudkan system pelayanan kesehatan yang prima. Semoga pemerintah dapat melaksanakannya.


* penulis adalah mahasiswa fakultas tarbiyah jurusan kependidikan islam IAIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di FOSISKA

0 komentar:

Posting Komentar