22 Februari 2010
VALENTINE’S DAY FENOMENA DEKONSTRUKSI MORAL PEMUDA INDONESIA
Asal mula Valentine
Ada berbagai versi tentang asal muasal Valentin’s Day. Beberapa ahli mengatakan bahwa ia berasal dari seorang yang bernama Saint (Santo) Valentine seorang yang dianggap suci oleh kalangan Kristen yang menjadi martir karena menolak untuk meninggalkan agama Kristiani. Dia meninggal pada tanggal 14 Pebruari 269 M., di hari yang sama saat dia menyerahkan ucapan cinta. Dalam legenda yang lain disebutkan bahwa dia meninggalkan satu catatan perpisahan pada seorang gadis anak sipir penjara yang menjadi temannya. Dalam catatan itu dia menuliskan tanda tangan yang berbunyi “From Your Valentine” ada pula yang menyebutkan bahwa bunyi pesan akhir itu adalah “Love From Your Valentine”.
Cerita lain menyebutkan bahwa Valentine mengabdikan dirinya sebagai pendeta pada masa pemerintahan Kaisar Claudius. Claudius kemudian memenjarakannya karena dia menentang Kaisar. Penentangan ini bermula pada saat Kaisar berambisi untuk membentuk tentara dalam jumlah yang besar. Dia berharap kaum lelaki untuk secara suka rela bergabung menjadi tentara. Namun banyak yang tidak mau untuk terjun ke medan perang. Mereka tidak mau meninggalkan sanak familinya. Peristiwa ini membuat kaisar naik pitam. dia memutuskan untuk tidak mengijinkan laki-laki kawin supaya mereka mau menjadi tentara.
Kalangan remaja menganggap bahwa ini adalah hukum biadab. Valentine juga tidak mendukung ide gila ini. Sebagai seorang pendeta dia bertugas menikahkan lelaki dan perempuan. Bahkan setelah pemberlakuan hukum oleh kaisar, dia tetap melakukan tugasnya ini dengan cara rahasia peristiwa perkawinan diam-diam inilah yang menyeret dirinya ke dalam penjara dan akhirnya dijatuhi hukuman mati.
Di saat menjelang kematiannya dia menuliskan catatan kecil “Love from your Valentine". Dan pada tahun 496 Paus Gelasius menseting 14 Pebruari sebagai tanggal penghormatan untuk Saint Valentine. Akhirnya secara gradual 14 Pebruari menjadi tanggal saling tukar menukar pesan kasih dan Saint Valentine menjadi patron dari para penabur kasih. Tanggal ini ditandai dengan saling mengirim puisi dan hadiah seperti bunga dan gula-gula. Bahkan sering pula ditandai dengan adanya kumpul-kumpul atau pesta dansa.
Dari paparan di atas kita tahu bahwa kisah cinta Valentine ini merupakan kisah cinta milik kalangan Kristen dan sama sekali tidak memiliki benang merah budaya dan peradaban dengan Islam. Namun kenapa remaja-remaja muslim ikut larut dan merayakannya?
Hati-hati mengikis Moral
Rasulullah menyampaikan:
"Belum sempurna iman seseorang hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri", kasih sayang dalam Islam terhadap sesama tidaklah terbatas dengan waktu dan dimanapun berada, baik untuk keluarga, kerabat, dan sahabat yang semuanya masih dalam koridor-koridor agama Islam itu sendiri. Nabi Saw., bersabda : "Cintailah manusia seperti kamu mencintai dirimu sendiri." (H.R. Bukhari). Islam sangat melarang keras untuk saling membenci dan bermusuhan, namun sangat menjunjung tinggi akan arti kasih sayang terhadap umat manusia. Rasulullah saw. bersabda : "Janganlah kamu saling membenci, berdengki-dengkian, saling berpalingan, dan jadilah kamu sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara. Juga tidak dibolehkan seorang muslim meninggalkan (tidak bertegur sapa) terhadap sudaranya lewat tiga hari" HR. Muslim.
Disini jelas bahwa kita dianjurkan sekali untuk saling menjaga dan menghargai antar sesama sebagai tanda kasih sayang yang mesti dihormati. Hal ini untuk menghindari berbagai keburukan serta dapat mengenal antar sesama untuk memperkuat dan menjaga tali persaudaraan. Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Baihaqi melalui Anas ra. Nabi bersabda : "Tidak akan masuk surga kecuali orang yang penyayang", jadi jelas bahwa yang masuk surga itu hanyalah orang-orang yang mempunyai rasa kasih sayang yang tanpa dibarengi dengan niat-niat jelek.
Dengan datangnya Valentine's Day dikhawatirkan bagi kaum muda-mudi yang tidak mengerti akan mampu terjerumus dalam hal-hal negatif dengan mentafsirkan kasih sayang di hari. Disini kebanyakan mereka ber-hedonis ria, dan lebih parahnya melakukan perbuatan yang tidak senonoh antara laki-laki dan perempuan. Firman Allah swt.: "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." (Q.S. al-Israa':32), yakni perbuatan yang dilarang oleh agama baik secara terang-terangan maupun yang tersembunyi. Oleh karena itu kita mesti sadar apa arti yang sesungguhnya sebuah kasih sayang.
Pemuda Indonesia Tidak Perlu Rayakan Valentine
Sebagai pemuda-pemudi Indonesia, sepatutnya kita tidak perlu merayakan valentine. Meski dicaci sebagai orang yang katrok, tidak gaul, atau yang lainnya. Tidak perlu digubris, karena sesungguhnya mereka yang mengolok-olok tidak tahu asal muasa dari Valentine itu sendiri. Mereka hanya latah mengikut budaya yang baru nan hedonis.
Valentine sungguh sebuah budaya asing yang merusak. Karena spirit didalam valentine adalah mencari kepuasan belaka. Untuk berbagi kasih sayang tidak perlu menunggu moment valentine. Berbagi cinta kepada teman kita atau kepada istri sanak dan anak tidak perlu menunggu valentine. Setiap hari setiap saat setiap waktu kita mempunyai waktu untuk berbagi kasih sayang. Menebar cinta, dengan merayakan valentine berarti kita membatasi kasih sayang hanya pada saat tanggal 14 februari saja.
Marilah tebar kasih sayang dengan siapapun dan kapanpun. Coba kita lihat sekeliling, tetangga kita, teman kita, saudara kita sudahkah mendapat kasih sayang? Sudahkah kita memperhatikannya. Kalau memang belum segera. Tidak perlu menunggu tanggal 14 februari.
Biodata
Nama : Rangga Sa’adillah S.A.P.*
Alamat : Bojonegoro
Nomor tlp : 085730607630
Alamat E-Mail : ranggaopni@gmail.com
*Mahasiswa Tarbiyah, IAIN Sunan Ampel Surabaya. Pengurus Pesantren luhur al-Husna Surabaya. Pengurus FOSISKA (Forum Studi Sosial dan Keagamaan) Surabaya.
MEMBONGKAR KERANCUAN PEMIIKIRAN AGUS MUSTOFA
Memang judul-judul tersebut merupakan rangkaian kata yang pas untuk menarik minat seseorang supaya terus membaca. Namun ternyata bukan hanya itu, judul-judul tersebut merupakan representasi dari gambaran isi buku. Agus Mustofa benar-benar berpendapat bahwa “akhirat tidak kekal”, “tidak ada adzab kubur”, dan seterusnya.
Pola pikir seperti demikianlah yang menjadikan penulis mempunyai greget untuk menelaah penyimpangan pemikiran Agus Mustofa. Penulis buku ini mengatakan, “kami jadi sadar, jika buku-buku Agus Mustofa itu dapat memberikan pengaruh negatif yang tidak sederhana dalam pola pikir dan tindakan umat Islam.” (Halaman 16). Karena memang pemikiran mengenai akhirat tidak kekal, akan mengakibatkan umat Islam bisa meremehkan pekerjaan-pekerjaan jelek yang dilakukan didunia, toh nantinya setelah disiksa juga akan musnah.
Agus Mustofa berani menulis demikian karena Beliau menciptakan sendiri pemahaman dalam menafsiri al-Qur’an dengan al-Qur’an (Tafsrul Qur’an bil Qur’an). Seharusnya Beliau harus memenuhi prasyarat sebelum menggunakan metode tersebut, seperti harus menguasi ulumul Qur’an, Ilmu Balaghah, dan sampai pada ilmu hadits. Ternyata tidak, penafsiran al-Qur’an yang digunakannya jauh dari ketentuan-ketentuan yang semestinya dipenuhi oleh seorang penafsir. Sehingga wajar jika pada penafsiran yang Beliau dapat terdapat kelemahan.
Agus Mustofa memang seringkali memperkuat argumennya dengan dalil-dalil yang ada dalam al-Qur’an. Semuanya diramu dengan apik sehingga pembaca merasa yakin bahwa argumen yang Beliau layangkan adalah benar. Namun dari sini penulis menyoroti bahwa Agus Mustofa telah mengenyampingkan hadits, tidak ada sama sekali keterangan dari hadits. Sehingga penulis berpendapat bahwa Beliau bisa dikategorikan sebagai orang yang anti hadits (Munkirus Sunnah).
Buku ini memang terlihat tebal sampai empat ratus halaman, namun sistematika kajiannya cukup sederhana. Hanya ada dua kajian, pertama menelaah penyimpangan metodologi yang dipakai oleh Agus Mustofa dalam meramu buku, dan yang kedua mengenai penyimpangan Agus Mustofa dari Aqidah yang benar.
Pada bagian pertama penulis menjelaskan tentang penyimpangan metodologi Agus Mustofa. Penulis mencoba menguak kerancuan-kerancuan pemikiran Beliau seperti dalam bukunya “Memahami al-Qur’an Metode Puzzle” penulis memberikan kritik bahwa dalam memahami al-Qur’an dengan metode tersebut Beliau tidak mengindahkan aturan main yang harus digunakan. “Metode Puzzle ciptaan Agus Mustofa itu tidak termasuk dalam kategori Tafsirul Qur’an bil Qur’an, dan ternyata setelah Beliau mengimpun ayat-ayat al-Qur’an yang dilakukan kemudian adalah memunculkan pemahaman baru dengan hanya bermodalkan akal, dengan tanpa merujuk pada Hadits plus metodologi yang absah, maka jelas metode puzzle Agus Mustofa itu paling identik dengan Tafsirul Qur’an bir-Ra’yi al-Madzmum (Tafsir al-Qur’an dengan rasio yang tercela)” (halaman 53).
Penulis juga memberikan warning terhadap pemikiran-pemikiran Agus Mustofa, seperti akhirat tidak kekal, tidak ada adzab kubur, tidak ada syafaat, Nabi Muhammad tidak ummi, Nabi Adam dilahirkan, segala sesuatu berada didalam Dzat Allah, dll, selain bertentangan dengan nash-nash al-Qur’an dan Hadits, kesimpulan-kesimpulan itu juga bertentangan dengan konsensus ulama (ijmak). Jadi dengan demikian, lengkap sudah pertentangan pemikiran Agus Mustofa dengan dasar-dasar yang disepakati umat sebagai landasan agama Islam, yakni al-Qur’an, Hadist, Ijmak, dan Qiyas (halaman 132).
Agus Mustofa kerap kali menampik pendapat para ulama’ yang telah memiliki otoritas dibidangnya, seperti ulama’ ahli Hadits, ahli tafsir, dan sebagainya. Sebagai kelaziman dari sikap anti-otoritas adalah penolakan terhadap pendapat-pendapat para pakar yang memiliki otoritas tersebut, bahkan menyalahkan pendapat-pendapat mereka, meski tanpa dilandasi argumentasi yang kuat.
Bagian kedua, adalah pembahasan mengenai penyimpangan aqidah. Agus Mustofa berpendapat bahwa baik dunia maupun akhirat sama-sama tidak kekal dan akan mengalami kehancuran karena yang kekal hanyalah eksistensi Allah. Penulis memberikan penjelasan bahwa kekalnya Allah dan kekalnya akhirat, dapat diketahui bahwa persamaannya hanya dalam segi bahasa dan pengungkapan saja, sedangkan esensinya jelas berbeda. Jadi meskipun Allah mengungkapkan kekekalan surga dan neraka (alam akhirat) beserta seluruh penghuninya dengan kata-kata “khalidin”, bukan berarti secara prinsip kekekalan Allah dan akhirat adalah sama.
Buku Beliau yang berjudul “Tak Ada Adzab kubur” juga disorot. Beliau sampai pada kesimpulan, informasi mengenai adzab kubur memang tidak memiliki dalil yang kuat dan meyakinkan dari al-Qur’an. Padahal keyakinan mengenai hal ini sangat urgen bagi umat Islam. Penulis mengungkapkan bahwa tidak semua permasalah yang tidak bisa dirujuk dengan tegas dalam al-Qur’an lantas bisa dinafikan. Betapa banyak permasalah yang rujukan lugasnya tidak tercantum dalam al-Qur’an, akan tetapi dijabarkan dalam Hadits, dan itupun juga harus diyakini kebenarannya (halaman 218).
Sampai pada bagian akhir buku ini adalah pendapat Agus Mustofa mengenai bukunya “Ternyata Adam dilahirkan”. Agus Mustofa berusaha menganalogikan proses penciptaan Adam dengan Isa melalui kehamilan dari seorang ibu. Padahal persepsi Agus Mustofa terhadap hal ini janggal. Ayat yang menjelaskan bahwa penciptaan Nabi Isa menakjubkan, sebab Beliau dilahirkan tanpa ayah, sama dengan keanehan proses penciptaan Nabi Adam. Namun, Agus Mustofa tidak tahu bahwa proses penciptaan Nabi Adam lebih menakjubkan daripada penciptaan Nabi Isa, sebab Nabi Adam diciptakan tanpa ayah dan ibu.
Buku ini berusaha menelaah bahkan mengoreksi pemikiran Agus Mustofa yang menyimpang. Sehingga bagi para penggemar buku-buku serial diskusi tasawuf modern karya Agus Mustofa perlu membaca buku ini. Namun dalam buku ini masih banyak istilah-istilah arabis sehingga akan sedikit mengerutkan kening dalam membacanya.
Judul Buku : MENELAAH PEMIKIRAN AGUS MUSTOFA Koreksi Terhadap Serial Buku Diskusi Tasawuf Modern
Penulis : A. Qusyairi Ismail, Moh. Achyat Ahmad
Penerbit : Pustaka Sidogiri Pondok Pesantren Sidogiri
Cetakan : Dzulhijjah, 1430 H.
Tebal : 418 halaman
Peresensi : Rangga Sa’adillah S.A.P.*
Biodata
Nama : Rangga Sa’adillah S.A.P.
Alamat : Bojonegoro
Nomor tlp : 085730607630
*Peresensi adalah Pengurus FOSISKA bidang Intelektual. Juga Pengurus Pesantren Luhur al-Husna dibawah bimbingan Prof. Dr. KH. Ali Maschan Moesa, M.Si.
12 Maret 2009
Salah Satu Peredam Konflik
Penulis : Chairul Mahfudz
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : II, 2008
Tebal : xxx+302
Peresensi : M. Anis Subaidi *
Sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Indonesia adalah sebuah Negara yang penuh dengan beragam kekayaan etnis, budaya, ras, suku, dan agama. Pertentangan antar etnis, budaya, suku pun tidak asing lagi di telinga kita, seperti halnya konflik suku Madura dan Dayak (Kalimantan Tengah) yang terjadi beberapa tahun lalu yang mengakibatkan terbunuhnya 315 orang, konflik Ambon, konflik Aceh yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, hal seperti itu harus kita antisipasi agar kejadian yang menimpa negeri ini tidak terulang lagi di masa-masa yang akan mendatang. Sekarang yang jadi pertanyaan bagaimana kita lepas dari kejadian tersebut? dan mampukah Negara tercinta ini menyelesaikan semua kejadian-kejadian tersebut?
Mencermati dari semua fenomena yang menghiasi wajah Indonesia ini satu hal yang perlu kita ubah yaitu pendidikan. Contohnya pada masa Orde Baru, pendidikan hanya sebagai indoktrinasi dari politik yang berkuasa. Pada saat itu tidak ada satupun ruang identitas lokal yang menguasai dan semua itu adalah ciri dari penguasa waktu itu”Orde Baru”, seperti halnya yang di ungkapkan oleh seorang tokoh agama dan sekaligus mantan presiden negeri ini yaitu KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dia mengatakan: bahwa setiap pemimpin yang tidak punya rasa keseragaman (multikulturalisme) dan keselarasan, berarti semua itu menyimpang dari Bhinneka Tunggal Ika yang jadi semboyan Negeri ini.
Buku pendidikan multikultural yang di tulis oleh Choirul Mahfud adalah salah satu buku yang mengupas tentang kemajemukan budaya yang ada di Indonesia, dan pendidikan yang ada di Indonesia harus mengacu pada kebudayaan lokal sendiri. Pendidikan multikultural merupakan wujud dari kesadaran dari keanekaragaman kultur dan suku. Di Indonesia pendidikan multikultural baru saja dikenal sebagai dari pendekatan yang sesuai terhadap bangsa Indonesia.
Sebetulnya kalau kita amati pendidikan multikultural tersebut adalah salah satu contoh bahwa kita menerima dan menghargai pebedaan dan kesamaan derajat masyarakat Indonesia. Dalam buku itu juga disebutkan bahwa setiap peradapan dan kebudayaan yang ada berada dalam posisi yang sejajar dan tidak ada satupun yang lebih tinggi, kalau salah satu kebudayan di anggap lebih tinggi maka akan menimbulkan suatu faham yang akan membawa kita kepada kesenjangan sosial. Untuk menciptakan pendidikan multikultural kata penulis ada dua kategori, yaitu:dialog dan toleransi. Pendidikan multikultural tidak akan terwujud tampa adanya dialog, karena dialog adalah salah satu cara atau metode untuk meminimalisir atas terjadinya kekerasan, perbedaan dan dengan adanya dialog kita akan menumukan satu titik temu (kalimatun sawa’) terhadap kebudayaan tersebut.
Toleransi adalah merupakan sikap menghargai terhadap keseragaman, baik itu antar umat agama, ras, suku, budaya, ataupun elit politik yang berkuasa saat ini dan dengan sikap toleran itu kita bisa memahami betapa besar kebersamaan. Kedua solusi tersebut harus diterapkan untuk menjaga dan menciptakan pendidikan multikulturalisme itu sendiri. Pada dasarnya pendidikan multikultural itu keberadaannya tidak cukup lama yaitu sekitar tahun 1970-an di Kanada dan Amerika Serikat, Australia dll.
Pada waktu itu Kanada mengalami krisis keseragaman dan kondisi masyarakat disana sangat memprihatinkan, sehingga untuk mengatasi semua persoalan di Kanada pada saat itu pula diterapkan konsep masyarakat yang multikultural dan hal itu tidak hanya sebagai wacana belaka tetapi juga sebagai ideologi masyarakat dari masyarakat yang multikultural.
Untuk mewujudkan masyarakat yang demikian sangatlah susah, tidak seperti kita membalikkan telapak tangan, akan tetapi ada satu hal yang dapat kita lakukan yaitu dengan mengundang beberapa pemimpin Negara, sejarawan, dosen, mahasiswa dengan melakukan seminar ataupun dialog terbuka.
Melihat dari konteks multikulturalisme tersebut kita harus bersikap toleran dan tidak saling menyalahkan satu sama lain seperti halnya kejadian yang menimpa aliran Ahmadiyah pada waktu lalu yang di serbu warga karena aliran tersebut dinyatakan sesat. Sebagai masyarakat yang demokratis, toleran, dan majemuk kita tidak bisa main hakim sendiri, karena bagaimanapun kita adalah satu keluarga yaitu keluarga (Indonesia) dan kejadian tersebut kita bisa selesaikan dengan cara kekeluargaan (dialog).
Sebagai semangat untuk merubah Negeri yang penuh dengan konflik ini, Choirul Mahfud hadir dengan menghadirkan buku pendidikan multikultural. Sebagai salah satu dari banyaknya keanekaragaman budaya Indonesia. Selain itu juga menghadapi datangnya era globalisasi yang akan berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan, salah satunya adalah budaya dan ekonomi. Sehingga dengan adanya pendidikan yang multikultural anak didik dapat membaca realitas yang terjadi dan bisa menyeleksi terhadap keanekaragaman bangsa dan bukan itu saja akan tetapi dapat besikap toleran.
Pendidikan multikultural semoga dapat mengubah terhadap monokultural yang selama ini kita pakai dan diskriminasi terhadap budaya lain tidak ada lagi.selain itu, ini mungkin dapat terwujud dengan adanya anggaran pendidikan yang saat ini mencapai 20% dan juga dukungan dari berbagai kalangan, perubahan materi pembelajaran dan system pembelajaran juga harus di rubah agar pendidikan yang multickultural dapat terwujud sesuai dengan yang di cita-citakan negeri ini.
*Aktivis Forum Studi Ilmu Sosial & Keagamaan (Fosiska) Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya.
20 Februari 2009
PONARI, tamparan buat pemerintah
Dua minggu belakangan berbagai media baik cetak maupun elektronik ramai membincangkan sosok bocak 10 tahun bernama ponari. Sesungguhnya tidak ada yang istimewa dari dirinya kecuali batu yang dimilikinya. Dengan batu yang konon sakti, dia membuka praktek pengobatan. Banyak testimony tentang kesembuhan pasien pasca meminum air yang sudah dicelupi batu-yang menurut sebuah stasiun tv swasta- berasal dari dewa petir. Meski banyak juga yang kecewa karena tak kunjung mendapat kesembuhan.
Sesungguhnya membludaknya “pasien” ponari bukan semata-mata diakibatkan oleh oleh pola piker masyarakat yang percaya pada hal-hal yang berbau klenik. Banyak factor lain yang menyebabkan laris manisnya “praktek pengobatan” ponari.
Kemiskinan mungkin bias menjadi salah satu factor lain tersebut. Cukup dengan biaya kurang dari sepuluh ribu perak, calon pasien sudah bias mendapat tiket untuk menuju kesembuhan. Bandingkan dengan praktik dokter di Surabaya, yang hanya untuk meminta surat keterangan dokter saja membutuhkan biaya lima belas ribu rupiah. Segelas air mineral seharga lima ratus rupiah untuk sekali tenggak tentu lebih murah jika dibandingkan dengan resep dokter yang diminum tiga kali sehari dan terkadang belum mampu memberikan kesembuhan dalam waktu dua hari. Ponari tentu saja memberikan pilihan alternative kepada masyarakat. Selain murah, dia juga memberikan penawaran lain yakni berupa kesembuhan instan.
Pemerintah juga punya andil yang cukup besar terhadap fenomena ponari ini. System layana kesehatan yang dikelola pemerintah belum mampu menyedot perhatian khalayak ramai. Puskesmas yang menjadi ujung tobak pelayanan pemerintah dalam bidang kesehatan dinilai kurang memuaskan sehingga ramailah orang berbondong-bondong mencari pengobatan alternative. Administrasi berbelit disamping layanan yang kurang ramah dari petugas jaga adalah sedikit dari banyak factor yang membuat masyarakat menjauh dari puskesmas.
Andai saja puskesmas memberikan pelayanan yang murah dan baik bak pelayanan kepada raja, niscaya praktek pengobatan ponari dan praktek-praktek lain yang sejenis akan ditinggalkan masyarakat dengan sendirinya. Kita layak berharap agar pemerintah bias mewujudkan system pelayanan kesehatan yang prima. Semoga pemerintah dapat melaksanakannya.
* penulis adalah mahasiswa fakultas tarbiyah jurusan kependidikan islam IAIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di FOSISKA
14 Januari 2009
DINAMIKA atau POCO-POCO (Bagian II)
Bisa dikatakan Islam zaman Rasulullah adalah fase perkembangan pertama islam. Meskipun Islam pada mulanya dikatakan sebagai foreign doctrin lama-kelamaan Islam bisa diterima dan telah mendarah daging, sehingga sulit bagi mereka yang telah jatuh cinta terhadap Islam melepaskan keyakinannya begitu saja. Terbukti, banyak para sahabat yang telah memeluk Islam dan mendapatkan ancaman dari kaum Kafir Quraisy dengan gigihnya mereka tetap mempertahankan keyakinan yang mendarah daging tersebut (Islam).
07 Januari 2009
Tanggapan untuk Tulisan Ketut Abid Halimi
setiap manusia sama mempunyai potensi untuk menafsirkan segala sesuatu. kita tidak boleh mengklaim bahwa seseorang itu jahat atau tidak, benar atau tidak atau sampai kepada kafir atau tidak. semua agama sama mengajarkan nilai-nilai kedamaian dan keadilan dan mencintai sesama. kita jangan terlalu lama berlarut hanya selalu mempersoalkan hal-hal sepele........ seperti itu. padahal hanya terjebak pada pendefinisian saja....... semua agama benar dan akan ketemu di langit-langit Tuhan nanti. benar-salah itu urusan Tuhan (dengan "T" besar) nanti di hari kiamat. hanya ada satu catatan dari tulisan saya kita hidup di Negeri Pancasila dibawah naungan Bhinneka Tunggal Ika.
salam damai untuk semua
04 Januari 2009
DINAMIKA ATAUKAH POCO-POCO? (Bagian I)
Agaknya ada dua kata yang hampir mirip berhubungan dengan perkembangan dunia Islam yakni poco-poco dan dinamika. Dalam sejarahnya Islam sempat mengalami kemajuan dan perkembangan. Dan dalam sejarahnya pulalah Islam sempat mengalami kemunduran. Entah apakah hal tersebut pantas disebut poco-poco atau dinamika perkembangan Islam. Bukankah kita tahu bahwa yang dinamakan poco-poco adalah senam yang sempat ngetren pada tahun 2000-an yang lalu. Ingatkah Anda dengan senam tersebut, yang mana dalam senam tersebut terdapat gerakan maju dan mundur. Atau apakah ini refleksi dari Islamic Development? Tidak juga maju dan tidak juga mundur. Ataukah poco-poco itu diganti dengan dinamika yang pemilihan redaksinya sendiri lebih pantas dan mengandung interpertasi positif dari pada poco-poco. Marilah ditelisik pada coretan berikut ini.
Pada mulanya Islam merupakan Agama Samawi yang langsung diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah (Muhammad SAW) dengan kitab Al-Qur'an sebagai pegangannya. Pada awal Islam itu sendiri muncul banyak kalangan dari orang-orang yang terdekat dengan Beliau (Muhammad) mengajukan protes kepadanya dikarenakan membawa risalah yang "asing" dan sangat berlainan sekali dengan mother religion daerah tersebut. Beliau mengalami perlawanan hebat dari orang-orang yang tidak setuju dengan risalah tersebut, bahkan tidak cukup dengan perlawanan, nyawa Beliau juga diancam oleh orang-orang yang tidak suka dengan risalah tersebut (Islam). Sampai akhirnya Beliau menyusun strategi untuk meninggalkan kampung halamannya (Makkah) menuju tempat yang lebih damai yakni (Madinah), ritual inilah yang kita sebut sebagai Hijrah. Disana Beliau dihadapkan dengan masyarakat yang multikultural dan multidinamis. Namun, karena kepiawaian Beliau maka berhasil me-manage kondisi tersebut sehingga memungkinkan Beliau untuk menyusun kekuatan demi terpenuhinya rasa aman dan rasa saling menyayangi. Islam ternyata lebih diterima di Madinah, dan sampai akhirnya kondisi yang diimpi-impikan tersebut menjadi nyata. Ini adalah awal dari perkembangan Islam.
Berlanjut pada masa Khulafaurrasyidin. Khalifah pertama adalah Abubakar Ash-Shiddiq. Masa ini merupakan masa yagn melelahkan bagi perkembangan Islam. Islam bisa dikatakan mundur pada masa ini karena pasca nabi Muhammad wafat, ternyata banyak pengikut-pengikut Beliau yang mulanya mengaku beriman kepada Allah dan Rasulullah (Muhammad) ternyata berbuat munafik. Mereka banyak yang tidak membayar zakat, keluar dari agama Islam, bahkan sampai-sampai ada yang mengaku sebagai nabi penerus dari risalah Muhammad. Hal ini merupakan embrio kemunduran pertama Islam. Seorang Abubakar Ash-Shiddiq yang ketika itu menjabat sebagai Khalifah (pemimpin) dihadapkan dengan kondisi seperti itu. Juga sungguh melelahkan, sebagai punishment bagi orang yang munafik Beliau terpaksa mengangkat senjata secara terang-terangan terhadap mereka melalui perang Riddah. Umar bin Khattab yang merupakan pengganti dari Abu Bakar Ash-Shiddiq berhasil membawa Islam menuju kejayaannya. Beliau berhasil melakukan ekspansi-ekspansi keluar daerah Madinah. Bahkan Beliau sempat menguasai Yerussalem. Pemerintahan Umar bin Khattab terkenal dengan pemerintahan yang demokratis dan hampir mendekati republic. Sistem kepemimpinannya ini banyak ditiru oleh Negara-negara berkembang dewasa ini. Umar juga bijaksana dalam hal diplomat. Beliau mengutamakan persamaan hak semua warga Negara. Terbukti dari penaklukkan Yerussalem beliau pernah berpidato yang isinya, bahwa Beliau akan melindungi semua warga Negara meskipun itu non-Muslim. Ini adalah second progress dari Islam. Berbeda dari kepemimpinan Utsman bin Affan banyak terjadi pemberontakan-pemberontakan, selain itu Beliau menjabat sebagai Khalifah di usianya yang senja sehingga seakan-akan Beliau hanya menjadi symbolic leader. Yang lebih parahnya lagi Beliau juga mengambil kebijaksanaan yang lain dari yang lain Beliau mengangkat sanak familinya sebagai pegawai-pegawai penting kepemerintahan. Tentunya tindakan ini menimbulkan pikiran negatif bagi mereka yang radikal dengan kebijakan tersebut. Dari konflik-konflik serta kebijaksanaan tersebut kepemimpinan pada masa Khalifah Utsman bin Affan bisa dikatakan go back. Namun bukan berarti Khalifah Utsman bin Affan tidak melakukan kegiatan yang berarti, pada masanya Beliau telah membangun masjid-masjid dan Beliau juga membuat irigasi-irigasi. Menuju keKhalifah Ali bin Abi Thalib. Belum tuntas konflik yang telah terjadi dimasa Khalifah Utsman bin Affan, Khalifah Ali bin Abi Thalib ternyata melahirkan konflik lagi. Telah meletus perang Jamal, yang disebabkan oleh ketidak puasan Muawwiyah atas darah Khalifah Utsman bin Affan yang terbuang sia-sia. Perang ini dinamakan perang Jamal karena pada saat itu Aisyah istri dari Rasulullah menggunakan unta. Disamping terjadinya perang Jamal yang tak kalah merugikannya lagi Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik yakni khawarij, Syiah, Sunni. Dari hal tersebut pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib Islam mengalami kemunduran.
Telah jelas bahwa dari dua periode Islam (masa Rasulullah dan masa Khulafaur Rasyidin) terjadi kemajuan dan kemunduran. Entah kata apakah yang pantas utuk disandangkan, apakah Islam ber "poco-poco" ataukah berdinamika.
